Dalam sejarah, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) telah mencetak banyak kader yang berkiprah di berbagai
bidang, mulai dari aktivis, akademisi, birokrat, hingga pengusaha. Akan tetapi,
di tengah perubahan sosial dan politik yang begitu dinamis, tantangan
kaderisasi menjadi semakin dinamis.
Dulu, para kader sering berdiskusi seputar pendidikan, filsafat, ekonomi,
politik, Aswaja berserta Nilai Dasar Pergerakan (NDP), bahkan materi-materi
yang dianggap remeh tetap dipelajari. Karena materi itu dianggap sangat penting
dan menjadi menu utama dalam pengkaderan.
Kemudian aku membuka Modul Kaderisasi PMII Jawa Timur “Berbasis Multisektor
Strategis”, salah satu poin menarik dalam buku itu tentang urgensi kaderisasi
multisektor. Artinya kader PMII tidak boleh hanya menghasilkan pemimpin yang
bergerak di ruang akademik atau politik, tetapi juga di sektor lain seperti
ekonomi kreatif, media, kesehatan, dan teknologi.
Selain itu, aku mencoba melihat kaderisasi PMII dari sudat pandang lain
dengan dunia yang terus berubah, dan organisasi yang tidak beradaptasi akan
tertinggal. Jika kaderisasi PMII terjebak dalam pola lama yang eksklusif bagi
dunia aktivisme, maka relevansinya dalam pembangunan bangsa ini akan semakin
memudar.
Aku membayangkan, apabila PMII mulai membuka ruang yang lebih luas bagi kadernya untuk belajar, misal tentang kewirausahaan digital, pengelolaan media sosial yang efektif, atau teknik negosiasi di dunia prefesional. Dengan demikian, kaderisasi tidak hanya mencetak pemikir, tapi juga pelaku perubahan yang konkret.
Kaderisasi PMII harus terus berkembang, sehingga melahirkan kader yang tidak hanya kritis terhadap persoalan bangsa, tetapi juga mampu memberikan solusia nyata. Saat aku menutup buku itu sembari menyeruput kopi dan bertanya pada diri sendiri. Sudah sejauh mana kita berkontribusi untuk pergerakan?