Cinta dan Benci; Perspektif Tokoh Filsafat dan Sufi

Salah satu tanaman di kawasan Pondok Pesantren Nurul Jadid. (santritanjung.blogspot.com).

Dua kata (cinta dan benci) ini sangat dikenal oleh orang, tapi banyak orang tak memahami akan kedalaman esensi cinta itu sendiri. Menukil dari maxmanroe.com dijelaskan bahwa cinta adalah suatu emosi atau perasaan positif (kebaikan, belas kasih, kasih sayang) yang terdapat di dalam diri manusia ditujukan kepada manusia lain, dan objek lain yang ada disekitarnya.

Pendapat lain mengatakan, cinta adalah suatu aktivitas manusia terhadap objek lain di sekitarnya, yang dilakukan dalam bentuk empati, kasih sayang, perhatian membatu, pengorbanan diri, dan memenuhi permintaan objek tersebut. Banyak ahli mengatakan bahwa cinta sulit untuk dijelaskan secara tuntas, karena lebih berhubungan dengan emosi manusia, bukan dengan logika.

Oleh karena itu, setiap orang dapat memberikan konsep tentang cinta sesuai dengan keadaan emosi di dalam dirinya. Emosi cinta, apa yang dirasakan dan bentuknya seperti apakah cinta itu. sebenarnya cinta adalah perasaan senang dan ingin disenangkan campur baur dengan perasaan memiliki dan ingin dimiliki.

Hal apa saja yang membuat manusia senang dan ingin dimilikinya, salah satunya yaitu harta, anak, wanita, kekuasaan. Seperti firman Allah yang artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS: Al-Imran 14).

Begitupun kekuasaan banyak dicari karena dengan “kekuasaan” kita bisa mengendalikan menguasai siapapun atau apapun. Kekuasaan di keluarga misalnya, kitalah yang harus dihargai, dihormati atau dipuja, jadi ada kesenangan dibalik kekuasaan itu. Oleh sebab itu, maka kekuasaan begitu dicintai manusia. bila tidak dapat maka timbulah rasa benci.

Menurut Buya Hamka, hakikat cinta merupakan perasaan yang mesti terdapat pada tiap manusia. Dia laksana setetes embun yang turun dari langit, bersih, serta suci. Hanya tanahnya lah yang berlainan menerimanya. Bila dia jatuh ke tanah yang tandus, tumbuhlah sebab embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipu, serta masalah tercela yang lain.

Namun, bila dia jatuh ke tanah yang produktif, di situ hendak berkembang kesucian hati, keikhlasan, setia, budi pekerti yang besar, serta lain- lain yang terpuji. Berbeda dengan tokoh sufi dan filsuf terdahulu sebagian yang hanya membahas cinta yang bersifat transendental, dan Rabi’ah Al-Adawiyah sendiri yang mengatakan bahwasanya cinta terhadap sesama makhluk hidup itu dilarang.

Di lain sisi, Imam Al-Ghazali menjelaskan tentang cinta, dibagi menjadi empat. Pertama, Cinta sebab aspek internal, maksudnya cinta yang bersumber pada kesempurnaan raga, etika, kecerdasan serta yang lain. Kedua, Cinta sebab harta (kepentingan duniawi), seorang yang mencapai cinta bukan atas bawah ketulusan melainkan sebab alibi lain seperti harta, peran serta yang lain.

Ketiga, Cinta sebab Allah SWT (ukhrawi), yang maksudnya ikatan cinta kasih yang dibentuk tidak cuma bersumber pada tampilan raga yang rupawan, tetapi pula demi kepentingan akhirat. Keempat, Cinta serta karena Allah SWT (lillah serta fillah). Bagian inilah yang paling tinggi, yang maksudnya cinta yang sekadar kerena Allah SWT.

Sangat berbeda dengan pendapat yang diutarakan oleh Empedokles, bahwa menarangkan ada 2 faktor yang mengendalikan perubahan-perubahan yang terjalin di alam semesta ini, ialah: cinta serta benci. Cinta mengendalikan ke arah perekatan (penggabungan), sebaliknya benci mengendalikan kepada perceraian serta pergantian.

Kedua faktor itu dapat menyerap ke mana saja. Proses penggabungan serta perceraian ini terjalin terus menerus, tiada henti. Maksudnya dalam kejadian di alam semesta ini, kedua faktor tersebut senantiasa menyertai. Dan penggabungan serta perceraian tersebut berlaku buat melahirkan makhluk-makhluk hidup.

Lalu di mana posisi cinta itu sendiri? Cinta dimasa Empedokles belum memiliki makna tersendiri. Empedokles menjelaskan bahwa cinta itu bukan suatu zat sendiri, bukan seperti air, api, tanah dan udara. Cinta disini merupakan sebuah faktor perekat atau penghubung di dalam keempat unsur tersebut. Dan unsur-unsur ini (air, api, tanah dan udara) akan menjalin hubungan dengan baik (harmoni) apabila di dalamnya ada kekuatan cinta. Dan keempat unsur ini juga akan menjadi hancur, apabila didalamnya terdapat unsur benci.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak