Dua hari di Kota Malang terasa begitu cepat. Waktu yang dihabiskan untuk bersilaturahim kepada teman-teman yang melanjutkan studi megisternya, menjadi momen penuh cerita dan tawa. Namun, perjalananku harus berlanjut tanggal 19 Maret 2025 pukul 15.27 WIB, aku harus melanjutkan perjalanan menuju Surabaya, berakhir di Pelabuhan Tanjung Perak, tempat di mana kapal yang akan membawa aku pulang ke tanah kelahiran, yang selalu menghadirkan kerinduan.
Ketika roda bus memasuki Kota Surabaya, pemandangan khas kota metropolitan
mulai menyambut. Gedung-gedung tinggi menjulang, jalanan pada merayap, dan ada
satu hal yang menarik perhatian, yaitu slogan “Polri Untuk Masyarakat” terpampang
di berbagai sudut kota.
Slogan tersebut, hadir di videotron besar dan di spanduk di pinggir jalan. Kata-kata
itu seakan menegaskan bahwa Kepolisian Republik Indonesia (Polri) hadir sebagai
pelindung dan pengayom masyarakat. Di balik itu semua, muncul pertanyaan yang
mengusik hatiku. Benarkah Polri hadir untuk masyarakat? Kenyataannya, masih
banyak laporan kekerasan yang melibatkan aparat kepolisian terhadap warga
sipil.
Akhir-akhir ini, ada penolakan RUU TNI meskipun berujung disahkan oleh
orang-orang yang tau main palu, tok...tok...tok. Kasus kekerasan yang dilakukan
oleh kepolisian masih menjadi sorotan publik, dari penanganan aksi demonstrasi
yang berujung bentrok hingga berbagai dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Menciptakan jurang antara harapan dan kenyataan.
Padahal, mereka sedang memperjuangkan keadilan dan kesajahteraan. Slogan
yang mengusung semangat pengabdian itu terasa berjarak dari kenyataan yang
dihadapi masyarakat di lapangan. Seharusnya, kehadiran aparat menjadi simbol
perlindungan dan rasa aman. Bagi sebagian orang, seragam coklat itu justru
menjadi sumber ketakutan.
Sekali lagi, slogan “Polri Untuk Masyarakat,” ada kisah-kisah yang bertolak
belakang dengan semangat yang digaungkan. Mahasiswa, buruh tani, dan masyarakat
yang bersuara untuk memperbaiki kebijakan atau memperjuangkan hak setiap warga
negara, kerap kali dianggap sebagai ancaman.
Realitas ini menciptakan paradoks yang sulit diabaikan. Di satu sisi,
negara melalui institusi kepolisian mengklaim komitmen untuk melayani
masyarakat. Di sisi lain, berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oknum
aparat meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut.
Dalam 100 hari pemerintahan Presiden Probowo yang dirilis portalhukum.id,
tercatat 136 kasus kekerasan yang diduga dilakukan oleh anggota polisi. Penegakan
hukum yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan, justru dimaknai sebagai alat
untuk membungkam perbedaan pendapat. Sedangkan, kebebasan berekspresi adalah
hak konstitusional yang seharusnya dilindungi.
Moga-moga kebutuhan akan reformasi yang menyeluruh menjadi semakin mendesak,
bukan hanya perubahan dalam slogan atau citra, melainkan juga komitmen nyata
untuk menghapus budaya kekerasan dan membangun institusi yang benar-benar
berorientasi pada pelayanan masyarakat.
Perjalananku hampir 20 jam menuju tanah kelahiran. Namun, pemandangan slogan yang kontras dengan kenyataan itu menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk keadilan dan kesejahteraan belum selesai. Di balik kata-kata indah yang terpampang di ruang publik itu, benar-benar diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekadar janji kosong di papan reklame.
Kapal yang aku tumpangi mulai bergerak meninggalkan dermaga, pikiranku masih berkecamuk. Apakah di masa depan, kita akan menyaksikan perubahan nyata? Atau slogan itu akan tetap menjadi pengingat ironi di tengah kehidupan sosial kita?