Tidak Ada Sepak Bola Seharga Nyawa

Suporter Aremania (Sumber foto: @inspirasi.pinggiran)

Pada hari Sabtu, 01 Oktober 2022 menjadi sejarah baru di dunia sepak bola khususnya di negara Indonesia dan dihari itu juga bertepatan dengan hari Nasional, yaitu hari Kesaktian Pancasila. Sesuai data saya peroleh ditingkat Internasional, Indonesia tercatat nomor urutan ke-2 setelah tragedi di Negara Peru pada tahun 1964, yang menewaskan manusia berjumlah 328 nyawa hilang.

Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur akibat kerusuhan pasca pertandingan sepak bola antara Arema FC vs Persebaya Surabaya berakhir dengan skor 2-3. Melalui akun Twitternya @aremafc mengungkapkan bahwa saat ini korban tercatat yang menewaskan mencapai 182 orang dan jumlahnya terus bertambah.

Mereka meregang nyawa setelah terjadi kerusuhan yang diwarnai tindakan penyemprotan gas air mata oleh aparat keamanan. Bermula dari ketidakpuasannya (Aremania) sebutan supporter Arema FC atas kekalahan tim kesayangannya. Lantas ketidakpuasannya diluapkan oleh sebagian supporter Aremania, dengan cara memasuki lapangan dan mengejar para pemain serta petugas pertandingan.

Di samping itu, tidak patut dihadang oleh aparat yang berhasil menghalau mereka kembali ke tribun penonton. Namun tidak hanya disitu, aparat atas pertimbangan apa? Lantas menyemprotkan gas air mata kearah tribun penonton Aremania. Akibatnya, mereka panik terus merasakan kesakitan, dan sesak nafas serta suasana menjadi kacau tidak terkendalikan.

Apapun alasannya, meregang nyawa yang sudah ratusan, laki-laki dan perempuan dewasa, anak-anak remaja bahkan anak-anak yang masih kecil, secara sia-sia dalam sebuah pertandingan sepak bola tidak dapat dianggap remeh. Semuanya bisa dihindari kalau saja kita menjunjung tinggi sportivitas. Siap menang, rela kalah, dan kalau saja ada kedisiplinan dari panitia penyelenggara juga aparat keamanan.

FIFA menggariskan aturan dalam Safety dan security regulation pasal 19, dilarang membawa dan menggunakan gas air mata dalam suatu pertandingan sepak bola. Tetapi aparat justru menggunakannya, otomatis sudah melanggar aturan. Kini kita hanya bisa menyesal, mengelus dada, bersedih atau sebaliknya saling tuding.

Namun, para korban harapan keluarga dan bangsa yang telah melayang sia-sia, tidak akan mungkin dapat kembali. Kita yang masih hidup, tidak cukup hanya menuntut adanya pertanggungjawaban (hukum) dari panitia penyelenggara, manajemen Arema, PSSI, dan aparat yang menyalahi prosedur.

Akan tetapi lebih dari pada itu, menjadikan peristiwa monumen untuk selalu kita jadikan pelajaran, agar tidak pernah terulang kembali. Sekaligus monumen untuk kita bertanya pada diri sendiri, adakah yang keliru pada kita sebagai generasi bangsa dalam cara merencanakan dan mengeksekusi sesuatu? Usut tragedi ini sampai tuntas.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak